By Marisa Lim
Dalam suatu kelas yang dipenuhi keramaian, duduklah aku, yang sedang memandangi Leo. Aku duduk di sudud kelas, mengarah jendela, dan mataku memandang ke luar. Tiap hari aku memperhatikan Leo, sebenarnya aku menyukainya... Namun aku yang tidak punya kepercayaan diri dan selalu ragu-ragu tak bisa menyatakan cintaku. Dan lagi, karena kepopulerannya di sekolah sudah banyak cewek ditolaknya, mana mungkin aku punya kesempatan. Aku yang pemalu ini, tidak populer sama sekali tak mungkin akan diterima, apalagi aku cuma sesekali berbicara padanya. Entah kenapa, sejak aku duduk di belakangnya, dia sering menghiburku, dia bisa membuatku tertawa. Kupikir ini cinta, tapi entah kenapa, lama-kelamaan rasanya dia seperti seorang kakak.
Waktupun berlalu, sudah 2 bulan sejak aku duduk dibelakangnya. Aku yang biasa tak punya teman, jadi mudah bergaul berkat Leo. Namun, dua bulan ini tak ada kemajuan, aku tetap tidak bisa begitu akrab dengannya, padahal dia selalu mengajakku berbicara dan dibuatnya tertawa. Sebentar lagi sudah liburan musim panas, aku tak ingin berpisah dengannya...
Saat pulang sekolah, kebetulan aku dan Leo berjalan berdampingan menuju gerbang sekolah. Tiba-tiba aku melihat pamanku, akupun memanggilnya, namun suaraku tak jelas terdengar, karena terhalangi suara Leo, ia berteriak “Paman!”. Aku sangat bingung, di sana hanya ada pamanku, Leo memanggil siapa? Aku menuju pamanku dan bertanya “Paman sedang apa disini” kata-kataku itu bersamaan dengan Leo. Kami berduapun terkejut. “Loh ini kan pamanku, kenapa kau mengenalnya?” tanya Leo, “hah?! Paman John adalah pamanku!” aku menjawab. “Loh?! Kalian tidak tahu?” tanya paman John. “Tahu apa?” tanya Leo. “Jangan-jangan kami bersaudara?” lanjutku. “Benar, padahal saudara, masa ga tahu” sindir paman. “Terus, paman kesini untuk apa?” tanya Leo. “Tentu ada hal penting yang mau paman bicarakan, Ayo kita ke mobil dulu” ajak paman.
Paman menjelaskan bahwa Leo akan tinggal dirumahku untuk sementara, karena orang tuanya pergi ke luar negeri karena urusan bisnis, sedangkan paman John ada banyak urusan. “Hah?! Kenapa Leo harus tinggal dirumahku?!” aku terkejut dan berdebar-debar. “Tentu saja, karena aku tak punya kerabat lain disini!” kata Leo. “Berarti Leo tahu kalo aku ini saudaramu?”. “Mana aku tahu, yang jelas aku tak punya kerabat di sini” Jawab Leo dengan kesal. Namun entah kenapa, aku bisa berbicara dengannya seperti sudah terbiasa. “ Ya sudah, kalian baik-baik ya!” kata paman, “Paman, tunggu! Memangnya orang tua kami setuju??” “Tentu, Itu kan Ide mereka” pamanpun segera pergi.
“Leo, berarti kamu pulang bersamaku?” tanyaku. “Aku harus pulang dulu, ambil barang-barangku”. “Kalo gitu aku ikut ya, kamu tahu rumahku?” “Aku ga tau, makanya ikut saja!” Leo pun mengambil sepeda motornya. Kami pun pulang bersama, untungnya tak banyak siswa yang melihat, bisa-bisa ada gosip yang tidak-tidak menyebar.
Kini sudah satu bulan Leo tinggal dirumahku, akupun sudah terbiasa. Kami pun akrab disekolah, untungnya tak ada gosip yang menyebar luas, karena tak ada yang menyangka kami punya hubungan spesial. Tapi, sekarang sudah liburan musim panas. Seperti biasa, saat liburan musim panas, aku selalu mengunjungi kakek dan nenekku di Swiss, aku dan orangtuaku memang tinggal di Indonesia, namun ibuku orang Swiss dan ayahku orang Surabaya, sedangkan Leo sama sepertiku. Kalian tahu tidak, Leo mirip Justin Bieber loh, dulu dia sering dipanggil JB, sedangkan aku sejak kelas delapan dipanggil BJ, BJ ada artinya loh, tapi rahasia, Cuma aku dan teman sebangku’ku yang tahu, dialah orang pertama yang memanggilku BJ. Kalo membicarakan tentang aku, asal kalian tahu ya, disekolah aku memang pemalu dan agak kuno, tapi kalo diluar sekolah, aku ini agak tomboy (Itu pendapat temanku sih) dan sangat berbeda dengan diriku disekolah, yah... memang sulit dipercaya. Sudah dulu tentang diriku, mari kita lanjutkan ceritanya.
Kamipun berangkat ke Swiss, aku senang sekali karena ada Leo dan lagi di pesawat dia duduk disebelahku. Saat di Swiss, Leo terlihat senang, karena ia sudah lama sekali tak pernah kesini, karena orang tuanya sangat sibuk. Kakek dan nenekku menyambut kami dengan hangat. Di rumah mereka, hanya ada 3 kamar, satu kamar kakek dan nenekku, satu orangtuaku dan yang satu lagi kamarku. Kukira Leo harus tidur di sofa, ternyata dia satu kamar denganku, bahkan satu kasur denganku! Bayangkan, kami dua remaja yang berlawanan jenis, harus tidur di satu ranjang, apalagi kami baru tahu kalau kami bersaudara. Tapi ya sudahlah, kami tetap saja saudara.
Akhirnya malam tiba, kamipun tidur, ranjang kami sangat sempit, selimutnya besar. Aku susah tertidur karena berdebar-debar, aku takut Leo akan mendengar detak jantungku yang begitu kencang di malam yang sunyi itu dan akhirnya aku tertidur setelah memikirkan apa yang harus kulakukan besok. Pagi pun tiba, aku mendengar suara kicauan burung. Entah kenapa rasanya begitu panas padahal malamnya begitu dingin, rasanya tak hanya panas tapi juga berat, seolah-olah aku tertimpa sesuatu, saat kubuka mataku, suasana begitu gelap, hanya ada beberapa titik cahaya dari gorden yang tidak tertutup rapat, lama-kelamaan aku bisa melihat dengan jelas, ternyata Leo memelukku sangat erat, aku benar-benar lupa kalau kita seranjang. Saat aku hendak melepas pelukannya dan ingin pergi, Leo mencegahku, ia menggenggam tanganku sambil mengigau “Jangan pergi,... aku ingin begini lebih lama...” ia mengigau tak jelas, kupikir ia memimpikan seseorang yang ia sukai. Saat ia melepas genggamannya, aku bergegas cuci muka, lalu membangunkannya untuk sarapan.
Saat itu sudah jam delapan pagi, kamipun sarapan bersama. Setelah kenyang, aku mengajak Leo bertemu sahabat-sahabatku di Swiss, diantaranya Michelle, dialah yang paling dekat denganku, itu karena kami bertetangga dan dialah teman pertamaku di daerah itu. Michelle sangat senang melihatku, aku juga sangat merindukannya. Michelle sempat mengira Leo adalah pacarku, namun bukankah wajah kami ada kemiripan. Sayangnya Leo tak mahir berbahasa Swiss ataupun Jerman. Jadi Michelle dan Leo terpaksa berbahasa Swiss campur Inggris dan aku juga membantu Leo berbicara. Karena dirumah tak ada yang kami bisa gunakan untuk bermain, kamipun beranjak ke sekolah di dekat rumah kakekku, jaraknya hanya sekitar 300 meter. Di sekolah ada banyak permainan, seperti panjat tebing, ayunan ban, kapal bajak laut dan semacamnya, disana kita juga diperbolehkan menggunakan lapangan sepak bola dan basket, ruang senam dan lintasan lari dan lompat jauh. Kami hanya duduk-duduk di atas kapal bajak laut sambil berbincang-bincang.
Tiba-tiba seorang anak lelaki yang seumuran denganku datang, ternyata dia Dastin, tahun lalu dia mengejekku karena aku terlihat seperti orang Asia, ia selalu mengataiku ‘Cina’ padahal aku tak seperti orang Cina walau aku masih memiliki keturunan Cina, baginya karena mataku coklat dan kulitku tak seputih orang Eropa aku mirip orang Cina. Kali ini dia mengejekku lagi. Aku sangat kesal, berapakali sudah kujelaskan bahwa ibuku orang Swiss. Lalu aku mengajak Michelle dan Leo pulang, kutarik tangan Leo. Saat kami beranjak pergi, datanglah Stacy, ia sangat populer di sekolah itu karena kecantikannya, rambutnya pirang dan matanya biru begitu bercahaya, umurnya satu tahun lebih tua dari kami. Stacy bertanya padaku “Hey, siapa cowo ganteng ini? Pacarmu?” sambil memerhatikan Leo, akupun tak tahu harus menjawab apa. “Kau manis juga, Siapa namamu?” tanya si rambut pirang itu. “Leo, kamu?” Leo menjawab, walau bahasa Swiss Leo tak lancar, namun Ia mengerti kata-kata sederhana. “Aku Stacy. Kamu anak baru ya?” tanyanya. Hello?! Aku juga bukan orang sini, kenapa tak ditanya, pikirku dengan kesal. Sebelum Leo sempat menjawab, aku menariknya pulang. “Huh?! Stacy suka sekali menggoda cowo, padahal dia sudah punya pacar!” kata Michelle dengan kesal. Ternyata tak hanya aku yang tak suka dengannya. “Sudahlah, itu jelaskan, diakan cantik” Bela Leo. “Jelas cantik, tapi tak alami, kau tak lihat make-up tebalnya?!” Sahut Michelle yang semakin kesal. Karena belum waktunya makan siang, Michelle mengajak kami ke tempat persembunyian kami, dua tahun lalu kami membangunnya bersama, walau hanya terbuat dari kerdus dan kayu yang sudah tak terpakai, tempat itu tetap kokoh dan nyaman. Letakknya di loteng rumah Michelle, walau gelap dan sempit, disana muat 4 orang. Disana juga ada persediaan cemilan, coklat dan komik, aku sangat suka membaca komik. Kami pun bermain disana. Setelah puas bermain, kami pulang untuk makan siang. Leo sangat suka masakan nenek, menu hari ini adalah bratwurst mit rösti. Itu makanan kesukaan’ku dan Leo.
Setelah makan, orangtua’ku, kakek dan nenek pergi belanja, sebenarnya kami ingin ikut. Namun, setelah kupikir-pikir, lebih nyaman tunggu dirumah sambil main. “Eh, gimana kalau kita ke sekolah lagi?” ajak Leo “Ahh, aku males ketemu ama mereka lagi!” aku sadar bahwa Leo tertarik dengan Stacy. Kamipun mendatangi rumah Michelle untuk mengajaknya bermain. Ternyata ia juga ingin pergi. Lalu Leo mengajakku ke sekolah lagi, untuk menghindarkannya dari Stacy, akupun mengajaknya ke kota. Untungnya aku punya cukup uang untuk naik bis. Sebelum pergi, kami meninggalkan memo dirumah agar orang tua kami tidak khawatir. Kamipun naik bis dan berangkat, kami duduk di deret bangku terbelakang, disana muat 4 orang. Tanpa kusadari, ternyata Stacy sudah duduk di sebelah Leo. Kekesalanku muncul lagi, mungkin Leo sudah menjadi target Stacy sejak awal, Ia memang playgirl. Ia sudah berpacaran dengan banyak cowok-cowok populer di sekolah, namun Ia tak tulus, Stacy hanya mencari sensasi dan kepopuleran, aku tahu itu karena aku dan teman-temanku sering melihatnya berpacaran dengan seseorang yang bukan pacarnya, padahal dia sudah punya pacar. “Hei manis, kita ketemu lagi” goda Stacy, “Yah, jadi namamu Stacy? Kamu mau kemana?” tanya Leo, “Aku mau ke kota” “Wah kebetulan sekali, aku juga mau ke kota!” Seru Leo “Kalo gitu kita jalan bareng aja?!” ajak Leo, “Boleh saja” jawab Stacy dengan suaranya yang menggoda. Aku pun kesal, aku merasa seolah-olah diriku ini udara, mereka bahkan tak menoleh ke arahku. Aku pun memotong pembicaraan mereka “Maaf Stacy, tapi kita punya urusan, kita tak hanya jalan-jalan dan mencuci mata seperti mu!” Kataku dengan lancang. “Yah aku juga punya urusan, jadi aku juga bisa jalan dengan kalian kan!” Sahut Stacy, “Kalo kamu punya urusan, kenapa tidak kau urus saja sendiri urusanmu, bukankah urusan kita sudah jelas berbeda?!” Balasku sembarang. “Hei, sudahlah!” Lerai Leo. “Ayo kita duduk didepan” akupun menarik tangan Leo, disana tak ada yang bisa menggangu kami. Setelah beberapa saat, kami pun sampai. Karena kami duduk dekat pintu, aku langsung menarik Leo keluar dan berjalan menjauh dari Stacy, Semoga kita tak bertemu lagi, pikirku.
“Jadi, kau mau kemana?” tanyaku, “emmm, entahlah...” jawab Leo dengan bingung. “Kalo gitu kita jalan-jalan saja” Ajakku. Setelah berjalan melewati beberapa toko, dinginpun makin terasa, karena tadi pagi masih cerah, aku tak membawa jaket. “Nih, pakai ini dulu, kamu kedinginankan.” Leo memberiku jaket yang tadinya ia pakai. “Iya, makasih...” jawabku malu-malu, kami pun berjalan lagi, tiba-tiba Leo memegang tanganku “Nanti kamu masuk angin loh” bisik Leo dengan lembut. Tangannya begitu besar dan hangat, aku merasa seperti anak kecil. “Leo ga kedinginan?” tanyaku, “Ga, kalo kamukan cewe” Jawabnya dengan suara lembut lagi. Aku kaget, biasanya dia bicara kasar padaku dan dia tak pernah menganggapku sebagai perempuan. Setelah beberapa saat, akhirnya aku menyadari satu hal, semua orang melihat kami berdua. Mungkin karena Leo mirip Justin Bieber atau orang-orang bingung aku ini adiknya atau siapa. “Eh, kita kayak orang pacaran ya” kataku pada Leo sambil senyum-senyum. Leo tak menjawab, bahkan tak menoleh, seolah-olah dia tak mendengar apa-apa. Kupikir omonganku salah, tapi saat aku melihat mukanya, aku benar-benar terkejut, aku tak pernah melihat mukanya seperti itu, mukanya benar-benar merah. Pada saat itu, aku merasa seperti orang paling bahagia didunia ini.
Tiba-tiba hujan rintik-rintikpun tiba, kami bergegas masuk ke sebuah caffe, karena hujan makin deras, kami memutuskan untuk menunggu hujan reda. Aku memesan coklat panas dan Ia memesan Coffee Latte, karena kami tak membawa banyak uang, terpaksa kami memesan hanya satu potong Black Forest dengan Cherry. Kamipun memakan kue itu berdua untuk menjanggal lapar karena berjalan-jalan. Waitress disana berkata “Kalian serasi loh!” sambil mengedipkan satu mata. Aku dan Leo pun tersedak dan batuk-batuk, “Bu-bukan begitu kok” jelas ku “Uhuk-uhuk, bu-buukan...” tambah Leo. “Aihhh! Malu-malu ni” goda si Waitress itu “Saya mohon permisi, kehadiran saya hanya mengganggu” kata waitress itu dengan nada menggoda dan ia pun pergi.
Karena sudah sore dan hujan berhenti, kami pun pulang, aku sengaja pulang sore, karena aku tahu satu bis sebelumnya ditumpangi Stacy, tadi aku melihatnya berlari ke arah bis dan ia basah kuyup. Kami pun makan malam bersama, setelah makan aku membantu nenek mencuci piring, sedangkan Leo memberi makan sapi-sapi bersama kakek. Aku dan Leo sangat suka binatang, kakek memiliki sebuah peternakan. Kami senang membantu kakek merawat ternak. Malam pun tiba, aku sudah lelah sekali, semua masih berkumpul di ruang keluarga sambil menonton televisi bersama. Aku hendak tidur dulu. Aku sudah berbaring di ranjang dan beberapa saat kemudian, aku mendengar langkah kaki yang mendekati kamarku. Ternyata itu Leo yang menyusulku, “Kamu sudah tertidur?” tanyanya, aku tak menjawab. “....” Saat aku membuka mataku, ia mencium dahiku, aku kaget, sehingga berpura-pura tidur, untungnya ia tak menyadarinya.
Saat terbangun dari tidurku yang begitu nyenyak, aku mengingat kejadian kemarin malam, dan itu bukan mimpi atau khayalan. Ku pikir itu hanya ciuman selamat malam dari seorang kakak pada adiknya. Aku sadar bahwa Leo tak ada dikamar, aku mencarinya ternyata ia sudah diruang makan. “Pagi!” sapa Leo dengan senyuman hangatnya. “Pa-pagi...” balasku, “Hari ini semua pergi ke tempat paman...” kata Leo, “Hah!? Kok kita ditinggal, padahal aku mau ketemu paman!” “Bukan ditinggal,tapi kamu tidurnya nyenyak jadi ga di ajak” “Trus kamu kok ga pergi?”, “Emangnya kamu mau sendiri?!” Teriak Leo sambil memalingkan pandangan. Setelah sarapan, aku hendak keluar “Mau kemana?!” teriak Leo, “Bukan urusanmu! Kenapa hari ini kamu berteriak terus sih?!” kataku kesal dan aku tetap berjalan menuju pintu, “Hey! Jawab yang benar dong!” balas Leo sambil memelototiku, “Kenapa kamu pedulikan aku?!” padahal kemarin kita damai-damai saja, kenapa hari ini malah berantem, pikirku. “Tunggu!” Leo menarik tanganku dan tiba-tiba menciumku. Aku pun tak tahu harus bicara apa, aku benar-benar terkejut. “Pokoknya hari ini kamu harus nemenin aku!” kata Leo dengan tegas, “Ehhhhh?” aku masih bingung, “Tadi kamu menciumku ya?” tanyaku seolah tak percaya akan kejadian barusan, “Tentu saja! Kau kira apa!?” jawab Leo. Tiba-tiba mukanya memerah setelah mengingat perbuatannya. Akupun semakin bingung, apa aku masih tertidur?
Tiba-tiba orangtuaku, kakek, nenek, bahkan orangtua Leo datang. “Wah wah wah wah” Tawa ayahku sambil menepuk-nepukkan tangannya. “Sepertinya kau kalah Hans” Kata ibu Leo pada suaminya itu. “Ibu! Ayah?! Kenapa kalian bisa ada disini??!” Tanya Leo yang terkejut. “Sepertinya kau harus menepati janjimu Hans, Leo harus melamar putriku” Kata ayahku. Aku semakin bingung, entah hari ini aku bingung berapa kali. “Ada apa ini??” Tanyaku bingung. Orangtua kami pun menceritakan semuanya dari awal. Sebenarnya kami bukan saudara. Orangtuaku dan orangtua Leo adalah rekan bisnis sejak lama dan mereka sangat akrab, kejadiannya dimulai saat orangtua kami berbincang-bincang santai, dan percakapan mereka sampai pada perkataan ayahku yang sombong mengatakan aku ini cantik bagai putri dalam dongeng, dan ayah Leo tak mau kalah, ia pun membalas ayahku dan mengatakan bahwa putranya juga tampan bagai pangeran pendamping putri dalam dongeng. Merekapun berdebat siapa yang lebih cantik atau tampan. Tiba-tiba ayah Leo mendapat ide untuk membuat semua ini, bahkan scenario jalan ceritanya. Kita sengaja dibuat selalu dekat sehingga siapa yang lebih dulu jatuh hati dialah yang kalah dan sebagai tanda kekalahannya ia harus melamar yang menang, ayah pun setuju dan mengikuti ide gila ini. Dan jadilah begini. Aku sangat senang karena tidak ada hubungan darah antara aku dan Leo, ternyata kemiripan kita hanyalah kebetulan.
Seperti dalam perjanjian, yang kalah harus melamar yang menang. Leo pun melamarku, dan kami dijodahkan, saat dewasa nanti kami akan menikah, tanpa paksaan, karena kami memang saling menyukai. Sekarang kami berpacaran menunggu kedewasaan yang akan menghampiri kami. Kami pun mempersiapkan hari-hari indah tersebut, kami melewati hari-hari dengan bahagai, bagai putri dan pangeran dalam dongeng.
-TAMAT-
Gimana?! suka ga??
ReplyDeletekalo suka bilang ya dan aku juga nrima kritik dan pendapat pembaca :)
Untuk crita selanjutnya sudah siap, tapi belum d post :)